
DKI Jakarta – Belakangan ini, perlombaan perahu tradisional Pacu Jalur kembali jadi sorotan publik. Melalui media sosial, beredar rekaman para pendayung cilik yang mana kompak memutar tangan serta mengayunkan tubuh demi menyimpan keseimbangan jalur pada waktu melaju kencang dalam aliran Sungai Kuantan, Riau.
Aksi merek tak belaka memikat perhatian rakyat Indonesia, tetapi juga mendebarkan minat kreator konten di negara lain yang bergabung menirukan aksi khas tersebut. Tak heran apabila tradisi lokal ini pada masa kini bermetamorfosis menjadi perbincangan hangat di dalam bermacam platform digital digital.
Tradisi Pacu Jalur menyimpan makna filosofis yang mana pada bagi rakyat Kuantan Singingi, Riau. Lebih dari sekadar perlombaan perahu panjang.
Pacu Jalur adalah cerminan nilai-nilai kebersamaan, semangat juang, dan juga penghargaan terhadap alam yang sudah pernah menghidupi mereka sejak beratus-ratus tahun silam.
Namun, apa sebenarnya makna yang tersebut tersirat dari setiap pergerakan kemudian tradisi Pacu Jalur ini? Simak penjelasannya yang digunakan telah lama dihimpun dari website resmi kemenpar.go.id.
Makna juga filosofi aksi tradisi Pacu Jalur jika Kuantan Singingi Riau
Sesungguhnya, tradisi Pacu Jalur tidak sekadar event perlombaan perahu panjang yang tersebut penuh semangat. Di baliknya, tersimpan nilai-nilai luhur kemudian filosofi mendalam yang dimaksud sudah diwariskan dari generasi ke generasi.
Bahkan pada proses pembuatan jalur sebutan untuk perahu panjang khas Kuantan terdapat ritual khusus yang digunakan harus dijalani. Sebelum menebang pohon besar sebagai substansi baku jalur, warga terlebih dahulu melakukan upacara adat untuk memohon izin juga menghormati alam, khususnya hutan tempat kayu diambil.
Sebuah jalur biasanya diawaki oleh 50 hingga 60 pendatang yang dimaksud tiap-tiap punya peran penting. Ada Tukang Concang yang dimaksud bertugas sebagai pemimpin tim kemudian pengatur aba-aba, Tukang Pinggang sebagai juru mudi, Tukang Onjai yang digunakan melindungi ritme kayuhan dengan menggoyangkan badan, hingga Anak Coki atau Tukang Tari yang digunakan berada paling depan.
Yang menarik, tempat Anak Coki ini umumnya diisi oleh anak-anak. Alasannya cukup mudah namun penting, yakni dikarenakan bobot tubuh dia lebih lanjut ringan, perahu bisa saja melaju tambahan cepat lalu stabil. Aksi tari yang dimaksud merek tampilkan tidak cuma sekadar hiburan, tetapi juga sarat makna.
Ketika jalur mereka itu menjadi pemimpin lomba, Anak Coki akan menari penuh semangat. Begitu menyentuh garis akhir, mereka itu secara langsung sujud syukur di dalam ujung perahu sebagai wujud terima kasih terhadap Sang Pencipta.
Setiap pergerakan Anak Coki miliki filosofi tersendiri. Misalnya, lambaian tangan ke arah sungai merupakan wujud penghargaan terhadap Batang Kuantan, sungai yang dimaksud berubah menjadi sumber kehidupan.
Langkah kaki kecil yang digunakan lincah menggambarkan ketangkasan lalu harmoni di keberadaan penduduk pesisir. Sedangkan aksi tangan terbuka ke melawan melambangkan rasa syukur melawan keselamatan serta berkah panen yang mana melimpah. Tari-tarian ini biasanya diiringi dengan musik tradisional seperti dentuman gendang, alunan gong, dan juga serunai yang mana menghidupkan suasana.
Irama-instrumen yang dimaksud tidak ada sekadar mengiringi, tetapi juga menggambarkan semangat perjuangan juga kebersamaan yang dimaksud berubah jadi napas utama Pacu Jalur.
Belakangan, aksi lincah para penari cilik pada berhadapan dengan jalur kembali popular di dalam media sosial. Salah satunya lewat tren “Aura Farming”, yang mana menampilkan semangat percaya diri sang penari dengan aksi khasnya memikat jutaan penonton dari bermacam belahan dunia.
Dengan segala keunikan serta kekayaan maknanya, tak heran jikalau Festival Pacu Jalur setiap saat dinanti sejumlah orang, baik warga lokal maupun wisatawan.
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Artificial Intelligence ke web web ini tanpa izin ditulis dari Kantor Berita ANTARA.



