
Ligapedianews.com – JAKARTA – Sejumlah pasal di RUU KUHAP dikritik keras aktifis juga akademisi. Kritikan dilontarkan dikarenakan banyak pasal memberikan potensi superioritas melawan penyidikan sebuah perkara oleh lembaga tertentu dan juga berpotensi memunculkan penyalahgunaaan kewenangan.
Kritikan ini muncul pada waktu seminar bertajuk RUU KUHAP dan juga Masa Depan Penegakan Hukum di dalam Indonesia di area Kampus UI Salemba, Kamis (20/2/2025. Wakil Ketua STHI Jentera, Asfinawati mengkritisi beberapa jumlah pasal tertera di dalam draft RUU KUHAP yang dimaksud beredar tertanggal 17 Februari 2025.
Salah satu pasal yang tersebut dikritisi Asfinawati adalah Pasal 69 (1), dengan subtansi penyidik dapat menawarkan untuk terdakwa atau terdakwa yang mana perananannya paling ringan untuk menjadi saksi mahkota pada perkara yang mana sama. Adapula Pasal 94 (1), Pasal 92 ayat 1 juga ayat 2, juga Pasal 24 (3).
Kritik keras juga disampaikan menghadapi Pasal 16 (1) pada draft tersebut. Disebutkan pada pasal itu bahwa penyelidikan dapat dijalankan dengan cara olah TKP; pengamatan; wawancara; pembuntutan; penyamaran; pembelian terselubung; penyerahan di area bawah pengawasan; pelacakan; serta atau penelitian dan juga analisis dokumen.
“Terkait dengan draft KUHAP tertanggal 17 Februari, ada penyamaran, pembelian terselubung, penyerahan di tempat bawah pengawasan, dan juga itu di area penyelidikan. Artinya tiada ada check and balances dari penuntut, ini berbahaya sekali. Ini adalah kan tidak menemukan aktivitas pidana, itu kan sanggup memproduksi aktivitas pidana,” katanya.
Kondisi yang disebutkan menurutnya akan diperparah lagi bila kewenangan semua penyidikan diberikan pada lembaga atau instansi tertentu. “Apa sih yang tersebut tak ada di area negeri ini? Dibunuh, dipaksa polisi, ditangkap tanpa ada alasan padahal ia korban, ada. Semua ada. Tahanan perempuan diperkosa oleh polisi, ada juga. Tapi masih akan lebih banyak buruk, massif, menimpa semua korban, akan lebih tinggi banyak. Kalau kewenangan tunggal (semua penyidikan oleh instansi tertentu), beliau akan lebih tinggi buas lagi,” tandasnya.
Dalam kesempatan sama, mantan Kabais Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto mengingatkan pentingnya transparansi, penguatan pengawasan, dan juga penyempurnaan koneksitas di Revisi KUHAP. Selain lemahnya pemeliharaan hak asasi manusia (HAM), Soleman membeberkan salah satu problem penegakan hukum dalam Indonesia ketika ini yaitu rendahnya transparansi kemudian akuntabilitas.
“Masyarakat kerap tidaklah mendapatkan informasi mengenai perkembangan laporan yang tersebut mereka itu buat. Sistem informasi yang tidak ada terintegrasi dan juga minimnya akses rakyat terhadap proses hukum menghambat kepercayaan warga terhadap institusi penegak hukum,” kata Soleman yang mana hadir di diskusi secara daring.
Persoalan lain disebutkannya adalah masih munculnya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Hal ini dikarenakan kurangnya kontrol kuat melawan kewenangan penyidik yang digunakan luas sehingga membuka celah penyalahgunaan, termasuk pada aspek penangkapan serta penangkapan yang tersebut tiada proporsional.
Persoalan lain yang tersebut tak kalah vital menurutnya adalah persoalan koneksitas pada sistem peradilan. Dalam HUHAP lama tukas Soleman, pengaturan koneksitas sudah mengatur bagaimana perkara yang dimaksud melibatkan unsur sipil dan juga militer ditangani secara adil.