berita terbaru

PTS vis a vis PTN-BH

Ligapedianews.com – Muhammad Irfanudin kurniawan
Dosen Universitas Darunnajah (UDN)

Pagi itu, suasana Focus Group Discussion (FGD) pendirian Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam (MPI) di dalam Universitas Darunnajah (UDN) terasa berbeda. Ada sesuatu yang dimaksud lebih lanjut dari sekadar diskusi akademik; ada sebuah refleksi mendalam tentang hakikat otonomi juga pengembangan pada dunia sekolah tinggi. Kehadiran Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama, menyebabkan perspektif yang digunakan cukup menggugah.

Satu hal yang tersebut menarik adalah gelar kejuaraan yang dimaksud tersemat pada namanya “Dr. Phil.” Alih-alih gelar kejuaraan Ph.D. atau Dr yang mana tambahan umum, nomenklatur ini mencerminkan tradisi akademik Jerman yang digunakan menekankan pada kedalaman filosofis. Dalam beberapa literatur disebutkan “Philosophy is the study of fundamental questions about existence, knowledge, and value.”, Hal ini dapat didefinisikan, sebagai studi tentang pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai eksistensi, ilmu, serta nilai. Artinya ini bukanlah sekadar gelar, tetapi sebuah panggilan untuk memahami esensi dari setiap kebijakan kemudian tindakan yang mana diambil, termasuk di regulasi perguruan tinggi.

Kebijakan tidak belaka tentang aturan, tetapi juga tentang arah masa depan. Ketika Pimpinan Darunnajah, KH. Hadiyanto Arief, mengutarakan visi besar pendirian Proyek Studi Manajemen Pesantren. Banyak pihak yang menyampaikan bahwa sampai pada waktu ini, nomenklatur untuk prodi yang disebutkan belum tersedia, ini menyebabkan pasukan berhenti di dalam batas regulasi. Sebuah ganjalan bagi dunia akademik yang mana seharusnya menjadi pusat inovasi. Nah, di dalam sinilah pentingnya sebuah refleksi filosofis: apakah sekolah tinggi sekadar pengelolaan administratif, ataukah ia adalah laboratorium hidup bagi gagasan-gagasan yang dimaksud melampaui batas?

Prof. Sahiron kemudian mengungkapkan bahwa pemerintah sedang merancang Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang inisiatif studi kreatif, yang dimaksud bertujuan memberikan ruang bagi kampus-kampus untuk membuka kegiatan yang mana sesuai dengan karakteristik kemudian keinginan zaman. Sekilas, ini terdengar seperti kabar baik. Namun, pertanyaannya tetap saja sama: mengapa harus ada batasan nomenklatur yang mana menghambat kelahiran ide-ide segar? Jika pembaharuan selalu harus menanti regulasi, apakah kita benar-benar telah terjadi memberikan ruang bagi kemajuan?

Diskusi semakin menarik ketika mencuat perbandingan dengan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seperti UGM juga IPB. Status ini memungkinkan merek miliki otonomi yang mana lebih besar luas di pengelolaan akademik, keuangan, dan juga organisasi. Secara teori, PTN-BH diharapkan mampu menurunkan beban negara dengan pengelolaan yang mana tambahan mandiri. Namun, di dalam sisi lain, partisipan diskusi mengangkat satu pertanyaan mendasar: bukankah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) telah sejak awal mandiri? Jika PTN-BH diberikan keleluasaan untuk berinovasi lantaran alasan kemandirian, mengapa PTS yang dimaksud sejak awal bukan bergantung pada anggaran negara justru masih terbelenggu oleh regulasi yang ketat?

Prof. Sahiron mengakui kebenaran logika ini. Namun, ia juga menekankan bahwa pemerintah, melalui kementerian, tetap memperlihatkan miliki kewajiban untuk melakukan pengawasan dan juga pengendalian guna melakukan konfirmasi mutu perguruan tinggi tetap memperlihatkan terjaga. Ini adalah adalah argumen yang dimaksud masuk akal, tetapi kembali lagi, bukankah terlalu banyak pengendalian dapat menjadi hambatan bagi inovasi? Haruskah PTS terus-menerus berada di bayang-bayang regulasi yang tersebut dirancang dengan standar PTN?

Pada akhirnya, PTS harus berani mengurangi diri dari jeratan administratif yang digunakan kaku lalu mulai menempuh jalan inovasi. Bukan sekadar menanti regulasi berubah, tetapi mendobrak kebuntuan dengan kreativitas juga keberanian. Sebagai institusi yang dimaksud tidak ada membebani negara, PTS seharusnya miliki hak yang dimaksud tambahan besar untuk bereksperimen, menciptakan sistem ekologi institusi belajar yang dimaksud adaptif, juga menjadi laboratorium bagi model pembelajaran yang mana lebih tinggi relevan dengan keinginan zaman. Jika PTN-BH diberi ruang untuk bertumbuh dengan otonomi, maka PTS harus berani melampaui batas, tidak sebagai pesaing, tetapi sebagai pionir di lanskap institusi belajar tinggi yang digunakan terus berkembang.

Related Articles