
Ligapedia.news Kairo – Dengan hamparan menara, masjid-masjid berusia beratus-ratus tahun, juga lorong-lorong tua, Kairo melakukan upaya besar-besaran untuk melindungi dan juga merevitalisasi warisan budaya kemudian arsitekturnya.
"Kairo merupakan satu dari segelintir ibu kota Islam di area dunia yang digunakan masih mempertahankan ciri khasnya selama lebih tinggi dari seribu tahun," ujar Mohamed Fouad, profesor Warisan Islam pada Universitas Kairo.
Dari masjid yang digunakan megah hingga gerbang yang tersebut terlupakan, bangunan-bangunan kuno di area kota ini dihidupkan kembali melalui berbagai proyek konservasi warisan budaya.
Salah satunya adalah proyek Urban Regeneration for Historic Cairo (URHC) yang dirilis pemerintah Mesir pada 2010 melalui kerja mirip dengan UNESCO.
Inisiatif itu dirancang bukanlah semata-mata untuk melindungi kekayaan arsitektur Kairo, melainkan juga untuk melestarikan bangunan perkotaan dalam area bersejarahnya.
Meyakini bahwa warisan budaya benda hanya saja dapat bertahan apabila tetap memperlihatkan menjadi bagian dari keberadaan sehari-hari, proyek yang disebutkan juga bertujuan untuk meningkatkan kondisi hidup rakyat yang dimaksud menganggap daerah-daerah ini sebagai rumah mereka.
Salah satu penerima manfaatnya adalah Medhat Othman, yakni pria berusia 60-an yang digunakan baru-baru ini kembali ke tempat masa kecilnya dalam Sayeda Zainab setelahnya tempat itu menjalani konstruksi kembali.
Daerah itu berada di zona Historic Cairo yang dimaksud lebih besar luas, yang dimaksud diakui sebagai Website Warisan Bumi oleh UNESCO sejak tahun 1979 sebab "nilai historis, arkeologis, kemudian urbanisasinya yang digunakan tiada perlu diragukan lagi."
Hal lain yang mana menjadi sorotan dari inisiatif URHC itu adalah metamorfosis Jalan Al-Muizz, yang dimaksud merupakan pusat sejarah dari Kairo Islam.
Dinamai dari Khalifah Dinasti Fatimiyah Al-Muizz li-Din Allah (953-975 M), jalan sepanjang 1.400 meter yang dimaksud membelah pusat Islamic Cairo dan juga sudah pernah bertransformasi menjadi museum terbuka yang dimaksud hidup, menjadi rumah bagi 29 monumen bersejarah yang berasal dari abad ke-10 hingga abad ke-19.
Setelah menjalani restorasi, wilayah yang dimaksud dahulu terabaikan itu sekarang menjadi tempat berdirinya bangunan-bangunan lima lantai yang dimaksud didesain dengan gaya Islam tradisional, lengkap dengan mashrabiya, yakni kisi-kisi kayu rumit yang tersebut menjadi ciri khas arsitektur Islam.
"Beberapa tahun lalu, rumah saya dikelilingi oleh limbah lalu sampah. Sekarang, saya tinggal di dalam kompleks yang mana bersih lalu terpelihara dengan baik," kenang Othman.
Dia mengungkapkan hanya saja membayar 7.000 pound Mesir (1 pound Mesir = Rp331) untuk biaya pendaftaran, dengan biaya sewa bulanan sebesar 650 pound Mesir setelahnya.
Namun, merevitalisasi jantung kota kuno Kairo bukanlah tugas yang digunakan mudah.
Menurut Fouad, upaya yang dimaksud membutuhkan dana yang mana besar, modernisasi infrastruktur, pembersihan kawasan kumuh, lalu proses relokasi atau pemberian kompensasi terhadap penduduk yang mana sudah ada lama tinggal di tempat sana.
Hazem Gaber, inspektur barang antik Jalan Al-Muizz, menyatakan untuk Xinhua bahwa restorasi jalan itu lalu bangunan-bangunannya terus dipelihara kemudian dipugar sejak 2010.
Proyek URHC yang dimaksud bertujuan menyatukan warisan Islam, Khedivial, kemudian Fatimiyah di area Kairo menjadi sebuah zona bersejarah yang dimaksud terpadu, sebuah arsip hidup bagi para penduduknya lalu destinasi wisata yang mana dinamis bagi para pengunjung internasional.
"Pasar, pedagang, toko kerajinan setempat, area parkir, serta hotel-hotel bergaya Islam berjajar dalam sepanjang Jalan Al-Muizz untuk menarik wisatawan dengan menambahkan pesona jalan bersejarah ini," kata pejabat Kementerian Peluang Usaha Pariwisata dan juga Kepurbakalaan Mesir itu terhadap Xinhua.
Namun, Gaber memberi peringatan bahwa diperlukan kesadaran warga yang lebih besar besar untuk melindungi nuansa unik dalam tempat tersebut.
Beberapa bangunan modern melanggar batas ketinggian juga mengganggu keharmonisan arsitektur lingkungan, ujarnya. Dia juga menambahkan bahwa melestarikan nuansa tempat itu membutuhkan pengawasan yang mana cermat.
Salah satu landmark yang tersebut telah lama dipugar pada jalan itu adalah Masjid al-Hakim bi-Amr Allah, masjid tertua keempat di dalam Mesir juga terbesar kedua setelahnya Masjid Ibnu Tulun.
Wisatawan dengan syarat Maroko, Ahmed Saeed, menjadi salah satu orang yang mengagumi kemegahannya.
Saat anaknya mengejar burung merpati pada halaman masjid tersebut, ia menceritakan sejarahnya yang dimaksud sangat panjang, termasuk ketika masjid itu digunakan sebagai barak ketika kampanye Prancis, ketika menara-menaranya menjadi menara pengawas.
"Jalan Al-Muizz mempunyai nuansa yang dimaksud unik," kata Saeed. "Anda dapat merasakan kentalnya sejarah di area setiap langkah."