
Jakarta — Pada tahun 1767-1845, Presiden Amerika Serikat, yakni Andrew Jackson memerintahkan Kapten USS Potomac, John Downes untuk siap bertempur ke Aceh, Indonesia. Kala itu, Downes berada dalam berlayar dalam di perairan Brasil.
Alasannya, pada Februari 1831, kapal dagang milik Amerika, Friendship, diserang oleh warga Kuala Batu, Aceh, pada waktu sedang melakukan pembelian lada. Insiden itu menimbulkan Jackson murka.
Sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, beliau memerintahkan Downes untuk segera bertindak. Tugasnya adalah menyimpulkan situasi hingga diperbolehkan mengambil langkah apa pun demi memberi pelajaran agar kapal-kapal dagang Amerika Serikat di perairan Hindia Timur terjamin keselamatannya.
John Downes sendiri tidak perwira sembarangan. Dalam buku America’s Forgotten Wars (2021) diketahui, ia dikenal sebagai komandan tempur tangguh yang sudah berkali-kali menjadi pemimpin serta memenangi operasi militer di kawasan Pasifik.
Maka, begitu perintah diterima, Downes segera bergerak. Dia memuat 300 tentara dan juga meriam ke pada kapal. Dari Brasil, kapal Potomac melanjutkan pelayaran ribuan kilometer menuju Afrika Selatan, tak lama kemudian menyeberangi Samudra Hindia demi mencapai Aceh.
Selama dua bulan pelayaran, Downes menyusun siasat.
Downes sadar betul tak sanggup tiba ke perairan Aceh dengan meriam terbuka pada geladak dan juga bendera Negeri Paman Sam berkibar di dalam tiang kapal. Pendekatan semacam itu cuma akan menyebabkan perlawanan.
Maka, strategi pun diubah.
“Seluruh meriam ditarik ke belakang geladak kemudian pintu meriam ditutup,” tulis Farish A. Noor di “Attack, Reprisal and Dealing with the Media Massa Fall-Out: The Battle of Quallah Battoo in 1832” (2014).
Sebagai gantinya, USS Potomac akan menyamar sebagai kapal dagang milik Belanda. Ini adalah merupakan pilihan cerdik sebab Belanda memang benar telah terbiasa berdagang dengan Aceh. Hubungan dagang itu menyebabkan peluncuran kapal asing berbendera Belanda tak akan menyebabkan kecurigaan.
Perlu dicatat, meskipun Belanda punya koloni besar di Nusantara, Aceh bukanlah bagian dari jajahan mereka. Aceh pada waktu itu adalah kerajaan independen yang tersebut tangguh serta berdaulat.
Bahkan, seperti dijelaskan Lee Kam Hing pada The Sultanate of Aceh (1995), Kesultanan Aceh miliki hubungan resmi dengan Kesultanan Ottoman pada Turki dan juga Kerajaan Inggris pada abad ke-19.
Saat USS Potomac tiba ke Aceh, Kapten Downes menjalankan siasatnya. Kapal peperangan itu disamarkan sebagai kapal dagang Belanda. Tak ada yang mana curiga.
Setelah merapat, tentara disuruh turun dengan dalih berdagang. Padahal, merekan sedang memetakan wilayah dan juga menculik tukang jualan lokal untuk mengukur kekuatan pertahanan Kuala Batu.
Dari sini, Downes menyusun serangan. Tepat pada fajar, 6 Februari 1832, 300 tentara Amerika Serikat melancarkan serbuan mendadak ke permukiman warga Kuala Batu.
Warga jelas tak siap perang. Mereka mengira tamu asing itu datang untuk berdagang. Meski akhirnya sempat melawan, merek terus kalah total.
“Kapten Downes mendaratkan 300 pendatang ke kota, kemudian pada waktu kurang dari tiga jam berhasil merebut tiga benteng dan juga menewaskan antara 80 hingga 100 warga lokal,” tulis New York Observer (7 Juli 1832).
Dalam laporan itu disebutkan, individu yang terjebak di dalam pihak Amerika Serikat hanya saja dua warga tewas lalu 80-100 warga lokal. Meski begitu, laporan lain mengatakan jumlah total korban terpencil lebih banyak besar, yakni 500 warga sipil.
Disebut Biadab
Menurut Farish A. Noor, serangan USS Potomac ke permukiman ke Sumatra membuat pembaharuan mengejutkan di opini umum Amerika Serikat. Awalnya, tentara Amerika Serikat dipuji sebagai pahlawan, tapi kemudian dikecam sebagai pembunuh biadab.
Ini disebabkan tentara Amerika Serikat melakukan strategi penyamaran sebagai pedagang, melakukan serangan pada waktu penduduk tertidur, tidaklah melakukan negosiasi, dan juga membunuh perempuan juga anak-anak.
Meski gelombang kritik sempat membesar, Presiden Andrew Jackson berhasil meredamnya. Namun, sejarah kekal mencatatkan luka itu. Baru beratus-ratus tahun kemudian diketahui, warga Aceh tiada sepenuhnya bersalah.
Dalam Death on an Empire (2011), sejarawan Robert Booth menjelaskan bahwa serangan terhadap kapal Friendship dipicu sikap frustrasi warga melawan praktik dagang yang dimaksud curang. Pedagang Amerika Serikat kerap mengempiskan takaran dan juga merugikan warga Aceh. Ketika Friendship datang, kemarahan yang mana lama terpendam akhirnya meledak.
Ironisnya, serangan balasan dari USS Potomac justru membuka jalan bagi invasi Belanda ke Aceh beberapa tahun kemudian. Serangan itu berubah menjadi awal dari pertempuran panjang kemudian berdarah yang mana mengubah lantas mengubah sejarah Aceh.
Next Article Ngamuk! Kapal Dagangnya Diserang, Negeri Paman Sam Kirim 300 Tentara Serbu Aceh