
Ligapedia.news Wilayah Gaza – Setiap pagi, terpencil sebelum matahari menyingsing di dalam cakrawala, Salim Abu Rayala, pribadi nelayan Palestina dari kamp pengungsi Al-Shati pada sebelah barat Kawasan Gaza melegakan ikatan perahunya, sebuah perahu kayu yang sudah pernah lapuk akibat cuaca serta selanjutnya menyokong perahu itu menuju perairan Mediterania.
Abu Rayala hafal betul sifat dualisme laut. Di satu sisi, laut dapat memberikannya hasil tangkapan yang mana baik, sedangkan pada sisi lain, laut dapat merenggut nyawanya. Namun, ayah delapan anak itu tidaklah mempunyai pilihan lain. "Saya harus berjuang untuk keluarga saya," ujarnya.
Di usianya yang mana sekarang menginjak 55 tahun, Abu Rayala menghabiskan lebih banyak dari tiga dekade untuk menangkap ikan sarden, belanak, juga ikan kerisi di tempat sepanjang pesisir pantai Gaza. Namun, sejak terjadinya konflik Israel-Hamas di tempat Jalur Wilayah Gaza pada Oktober 2023, lautan berubah menjadi tempat yang penuh bahaya, keputusasaan, lalu harapan yang dimaksud kian susut.
"Saya masih melaut setiap hari, meskipun terkadang bukan mendapatkan apa-apa. Beberapa hari, saya berlayar cukup terpencil untuk menebar jala, namun harus kembali dengan tangan hampa. Saya mempertaruhkan nyawa saya untuk hal yang digunakan sia-sia, tetapi pilihan apa yang saya miliki?" kata Abu Rayala.
Dengan pembatasan ketat dari negeri Israel terhadap akses ke perairan untuk menangkap ikan dalam Gaza, nelayan setempat terus-menerus menghadapi ancaman ditembak, dilecehkan atau ditangkap jikalau mereka itu mengundurkan diri dari dari batas yang ditetapkan.
"Terkadang, merek (tentara Israel) menembak ke udara. Di lain waktu, mereka itu berusaha mencapai mesin perahu. Saya telah pernah meninjau teman-teman saya terluka lalu perahu dia hancur. Namun, kami masih bertahan, kami punya keluarga yang dimaksud harus dinafkahi." kenang Abu Rayala.
Karena serangan tanah Israel terus berlanjut, sektor perikanan sekarang berada pada ambang kehancuran total, menghadapi berbagai kendala seperti kelangkaan komponen bakar juga kurangnya suku cadang.
"Dulu, saya biasa menyebabkan pulang ikan untuk makan malam. Sekarang, saya mengirimkan apa pun hasil tangkapan saya demi membeli beras, minyak, serta sayuran. Ini adalah tidak lagi masalah memberi makanan bergizi bagi keluarga saya, melainkan mengenai bertahan hidup," tutur Abu Rayala.
Setiap kilogram ikan dijual seharga 30 dolar Amerika Serikat (1 dolar Negeri Paman Sam = Rp16.862). "Harganya berjauhan lebih besar tinggi dibandingkan dengan harga jual sebelum perang, tetapi saya tetap saja tak bisa saja memunculkan nafkah," keluh Abu Rayala.
Di seluruh wilayah pesisir Gaza, pemandangan sejenis terjadi setiap hari. Ribuan nelayan mengungsi atau bahkan terpaksa melepas profesi mereka. Banyak dari mereka yang digunakan beralih ke mata pencaharian lain, bahkan menukar alat menangkap ikan mereka itu dengan gerobak dorong atau menghimpun kayu bakar dari gedung-gedung yang dibom.
Ahed Baker, pribadi nelayan lain dalam kamp pengungsi Al-Shati terlihat sedang menambal jaring. Perahu kecilnya sudah ada bukan melaut selama lima pekan. "Bahan bakar terlalu mahal, juga saya bahkan tiada punya umpan," katanya untuk Xinhua.
"Dahulu, laut adalah sumber penghidupan kami. Namun kini, laut sudah ada diblokir, rusak, dan juga penuh dengan bahaya. Tidak ada lagi yang digunakan tersisa bagi kami, tanah kering. Langit menghujani kami dengan bom kemudian meskipun laut kosong, laut tetap memperlihatkan menjadi satu-satunya tempat yang mana benar-benar saya ketahui untuk saya arungi," tuturnya.