Blog

Mengenal fenomena incel: Ancaman gender dalam serial “Adolescence”

Ligapedia.news Ibukota – Serial terbaru Netflix berjudul "Adolescence" bukan hanya sekali menyuguhkan cerita seputar hidup remaja, tetapi juga mengangkat isu fenomena incel atau involuntary celibacy. Serial ini membongkar sisi gelap dunia maya lewat karakter Jamie pada sebuah komunitas yang digunakan menyimpan kebencian terhadap perempaun serta berpotensi menyokong kekerasan.

Isu ini muncul di karakter Jamie, individu remaja laki-laki yang dimaksud melakukan tindakan kekerasan terhadap teman perempuannya, Katie, lalu diyakini dilatari oleh pemikiran khas komunitas incel.

Fenomena incel dan manosphere yang turut disebutkan pada serial ini membuka perbincangan penting terkait dinamika maskulinitas toxic, kesepian, hingga peluang kekerasan berbasis kebencian gender. Lantas, apa sebenarnya arti incel, juga mengapa kemunculannya dianggap sebagai ancaman baru di tempat dunia maya maupun dunia nyata? Berikut penjelasannya, merangkum dari berbagai sumber:

Apa itu incel?

Incel merupakan singkatan dari involuntary celibate, yaitu istilah untuk mengumumkan laki-laki yang mana merasa tak mampu menjalin hubungan seksual atau romantis, tidak sebab pilihan mereka sendiri, tetapi sebab merasa ditolak oleh perempuan atau sistem sosial. Mereka biasanya menyalahkan perempuan sebagai penyulut penderitaan mereka.

Awalnya, istilah ini diciptakan pada 1997 oleh individu perempuan bernama Alana yang digunakan menyebabkan situs daring sebagai wadah saling mendukung bagi laki-laki serta perempuan yang merasa kesepian. Komunitas ini pada awalnya bersifat inklusif serta netral. Namun, seiring waktu, sebagian kelompok pada komunitas yang disebutkan berubah menjadi ruang yang dimaksud penuh kebencian terhadap perempuan, teori konspirasi, hingga glorifikasi kekerasan.

Penulis lalu aktivis perempuan Kalis Mardiasih menyampaikan bahwa incel pada dasarnya adalah laki-laki jomblo yang tersebut merasa tak nyaman dengan statusnya, lalu menyalahkan perempuan akibat dianggap belaka tertarik pada laki-laki tertentu yang dominan secara fisik, ekonomi, atau status sosial.

Manosphere dan dunia maya yang digunakan toxic

Fenomena incel merupakan bagian dari ekosistem yang tersebut lebih tinggi luas bernama manosphere, yakni komunitas daring yang tersebut dihuni oleh berbagai kelompok laki-laki dengan pandangan misoginis, seperti men's rights activists (MRA), pickup artists (PUA), juga men going their own way (MGTOW). Dalam ruang-ruang ini, kerap kali perempuan diposisikan sebagai objek semata dan juga dijadikan kambing hitam melawan segala perasaan frustrasi atau kegagalan pada relasi.

Penelitian Ging (2019) pada jurnal Alphas, Betas, and Incels mencatat bahwa manosphere berkembang menjadi tempat reproduksi ideologi ekstrem. Retorika yang dimaksud ditemukan pada berbagai forum incel menunjukkan glorifikasi kekerasan, dehumanisasi perempuan, hingga pembenaran terhadap tindakan kriminal sebagai bentuk “balas dendam” terhadap sistem sosial yang dianggap tak adil.

Dari dunia maya ke aksi kekerasan nyata

Fenomena ini bukanlah sekadar wacana daring. Sejumlah aksi kekerasan yang tersebut terjadi di area berbagai negara dikaitkan dengan pelaku yang dimaksud mengidentifikasi dirinya sebagai incel. Studi Hoffman et al. (2020) di Journal of Strategic Security menyebutkan tindakan hukum penembakan pada Toronto (2018) kemudian California (2014) sebagai contoh konkret bagaimana ideologi incel dapat bermetamorfosis menjadi bentuk terorisme domestik.

Penelitian Baele, Brace, lalu Coan (2021) juga menggarisbawahi bahwa sebagian besar pelaku memiliki latar belakang isolasi sosial, perasaan inferior, kemudian kesulitan menjalin hubungan interpersonal yang mana sehat. Mereka terjebak pada algoritma dunia maya yang dimaksud meningkatkan kekuatan narasi kebencian kemudian mengarahkan frustrasi dia ke arah ekstremisme misoginis.

Ancaman nyata lalu perlunya intervensi

Data dari berbagai lembaga internasional menunjukkan tren peningkatan signifikan di penyebaran konten-konten misoginis di area forum-forum incel. Akademisi dari University of Exeter, Lewys Brace, mencatatkan bahwa pada tahun 2016 terdapat rata-rata 112 unggahan per hari yang mengandung kata-kata kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini meningkat mendadak menjadi sekitar 849 unggahan per hari pada beberapa tahun terakhir.

Southern Poverty Law Center (SPLC) bahkan mengingatkan bahwa budaya incel dapat tumbuh menjadi bentuk supremasi maskulin yang digunakan toksik, yang mana jikalau bukan diatasi, berpotensi menggerakkan kekerasan terhadap perempuan dan juga minoritas lainnya.

Upaya pemblokiran forum incel saja tiada cukup untuk menghentikan penyebaran ideologi berbahaya ini. Diperlukan strategi komprehensif yang digunakan mencakup edukasi digital, literasi gender, peningkatan kesadaran kondisi tubuh mental, dan juga pengawasan lebih banyak ketat terhadap konten daring yang berpotensi mengarah pada kekerasan.

Serial "Adolescence" membuka ruang diskusi yang tersebut penting tentang bagaimana dunia maya, khususnya media sosial juga forum daring, dapat membentuk pola pikir dan juga perilaku remaja. Fenomena incel bukan sekadar permasalahan “jomblo kesepian”, tetapi gejala sosial yang tersebut kompleks juga memerlukan perhatian dari berbagai pihak.

Memahami akar permasalahan incel dan menguatkan nilai-nilai empati, kesetaraan gender, dan juga dukungan psikososial bagi remaja adalah langkah awal untuk mengurangi radikalisasi berbasis gender yang digunakan sekarang ini makin marak pada era digital.

Related Articles