
Ligapedianews.com Pertanyaannya tidak seberapa cepat Ibukota bersaing dengan Singapura atau Kuala Lumpur, tetapi seberapa serius Ibukota Indonesia melindungi warganya sendiri.
Jakarta – Ibukota Indonesia semakin tua. Usianya pada masa kini 498 tahun.
Meski status Ibukota tidak lagi ibu kota negara secara administratif, pada praktik sehari-hari kota ini masih memegang kendali kegiatan ekonomi nasional. Aktivitas kegiatan bisnis juga finansial tetap saja terpusat di area Jakarta, menjadikannya magnetik urbanisasi yang dimaksud sulit ditandingi.
Di balik ramainya perekonomian kota, tersimpan tantangan besar: peningkatan yang dimaksud gemilang menghadapi nama kota, mestinya juga menjangkau seluruh warganya.
Menurut data BPS, per September 2024, tingkat kemiskinan DKI Ibukota memang sebenarnya turun ke bilangan 4,14 persen, terendah sejak Maret 2020. Namun, di dalam ketika bersamaan, ketimpangan justru melebar.
Gini Ratio meningkat dari 0,423 pada Maret 2024, menjadi 0,431 pada September 2024. Ketimpangan pengeluaran tetap memperlihatkan tinggi, dengan kelompok 20 persen teratas menguasai 51,14 persen total pengeluaran penduduk, sementara 40 persen terbawah cuma memperoleh 16,15 persen. Hal ini bukanlah sekadar ketimpangan angka, tetapi juga ketimpangan kesempatan lalu akses.
Dari sisi pekerjaan, tekanan tak kalah besar. Fakta Sakernas Februari 2025 menunjukkan bahwa dari 5,14 jt penduduk bekerja, sebanyak 37,95 persen dalam antaranya berada di dalam sektor informal. Itu berarti sekitar 1,95 jt pekerja Ibukota bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa proteksi sosial, dan juga tanpa kepastian penghasilan. Bahkan, proporsi ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu, Taraf Pengangguran Terbuka (TPT) juga naik 0,15 persen poin dari Februari 2024, menjadi 6,18 persen.
Pekerja informal bukanlah sekadar kategori statistik. Mereka adalah penjual kaki lima, pengemudi ojek daring, pekerja rumah tangga, kurir, tukang parkir, buruh lepas proyek yang dimaksud menjadi wajah keseharian Jakarta. Mereka menghidupi kota, tetapi tidak ada dihidupi kota.
Banyak dari dia tinggal di dalam hunian tiada layak, mengandalkan pendapatan harian yang dimaksud tidak ada pasti, serta mengurus anak-anak yang digunakan kesulitan mengakses sekolah bermutu.
Dalam data ketenagakerjaan terbaru, terlihat bahwa mayoritas pekerja Ibukota Indonesia berpendidikan menengah ke bawah. Hanya 16,87 persen penduduk bekerja yang mana lulus perguruan tinggi (Diploma IV, S1, S2, S3).
Sementara itu, lulusan SMK justru mencatatkan data tingkat pengangguran tertinggi: 9,07 persen. Ini adalah mencerminkan dislokasi antara sistem lembaga pendidikan vokasi juga keperluan riil bursa kerja.
Kemiskinan serta pekerjaan informal saling terkait. Dengan garis kemiskinan September 2024 di dalam Ibukota Indonesia sebesar Rp846.085 per kapita per bulan, berbagai warga yang tersebut mungkin saja bukan tergolong miskin secara statistik, tetapi masih hidup di kerentanan tinggi.
Penghasilan mereka belaka sedikit pada melawan garis itu, tapi setiap bulan harus memilih antara membayar sewa, membeli makanan, atau membayar sekolah anak. Mereka hidup di ketidakpastian, pada antara statistik yang tiada mencatatkan data kegelisahan mereka.
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Teknologi AI pada situs web ini tanpa izin tertoreh dari Kantor Berita ANTARA.