
Ligapedianews,com TEPAT LIMA PULUH tahun lalu, pada 3 Maret 1975, pertarungan legendaris antara Muhammad Ali serta Joe Frazier III secara resmi diumumkan. Pertarungan yang mana kemudian dikenal sebagai “Thrilla in Manila” ini berlangsung pada 1 Oktober 1975 lalu menjadi salah satu duel tinju paling brutal di sejarah.
Pada pagi yang panas di area Manila dalam hari pertarungan itu, dunia menyaksikan salah satu pertarungan tinju paling sengit pada sejarah. Duel antara Muhammad Ali dan Joe Frazier , yang dikenal sebagai “Thrilla in Manila”, menjadi kompetisi pembuktian siapa petinju terbaik di dalam era mereka. Namun, tambahan dari sekadar pertarungan bersaing untuk gelar, duel ini meninggalkan jejak tak terhapuskan di dunia olahraga.
Di bawah sorotan lampu yang mana membakar, suhu di tempat di ring diperkirakan mencapai 49 derajat Celsius. Dalam kondisi yang digunakan hampir tak tertahankan, dua legenda tinju ini bertarung habis-habisan selama 14 ronde sebelum akhirnya Frazier harus menyerah. Pertarungan ini tidaklah belaka mengukuhkan Ali sebagai yang digunakan terbaik, tetapi juga menandai berakhirnya salah satu rivalitas paling legendaris pada sejarah tinju.

Sebelum konferensi ketiga ini, Ali dan juga Frazier telah lama berbagi kemenangan di tempat dua laga sebelumnya. Pertemuan pertama mereka, yang mana dijuluki “Fight of the Century” pada 1971 di dalam Madison Square Garden, dimenangkan oleh Frazier pasca berhasil menjatuhkan Ali dalam ronde terakhir. Dua tahun kemudian, di duel ulang yang tak kalah sengit, Ali berhasil membalas kekalahannya dengan kemenangan nomor mutlak.
Namun, pertarungan ketiga di area Manila ini berbeda. Hal ini bukanlah cuma sekadar duel biasa—ini adalah pertempuran fisik lalu mental yang mana akan mengubah hidup kedua petinju selamanya.
Saat memasuki ring, Ali tampak percaya diri mengenakan jubah putih beraksen biru muda, sementara Frazier mengenakan jubah biru tua yang dimaksud mencerminkan keteguhan hatinya. Ali, dengan keangkuhan khasnya, memilih mengenakan celana tinju Everlast putih polos—sesuatu yang dimaksud jarang dilaksanakan petinju di laga sekeras ini. Pilihannya seakan menjadi simbol keyakinannya bahwa ia akan menang tanpa cela.
Namun, dalam di ring, segalanya berubah. Bel pertandingan berbunyi, kemudian duel segera berubah menjadi pertempuran tanpa ampun. Ali mencoba mengontrol jarak dengan jab panjangnya, sementara Frazier terus merangsek maju, menghantam tubuh Ali dengan pukulan yang digunakan mengguncang.
Biasanya dikenal dengan gaya bertinjunya yang lincah, kali ini Ali justru lebih banyak berbagai bertahan lalu memilih bertukar pukulan segera dengan Frazier. Ritme pertandingan begitu cepat kemudian intens. Setiap pukulan yang mana mendarat tiada semata-mata mengguncang tubuh, tetapi juga menguras tenaga dia sedikit demi sedikit.
Di berada dalam panas ekstrem juga kelelahan yang dimaksud semakin parah, keduanya tetap memperlihatkan bertahan. Tak ada yang mana mau menyerah. Ali sesekali bersandar ke tali, mencoba meredam serangan Frazier, tetapi sang lawan tak memberi ruang untuk bernapas. Ronde demi ronde berlalu, serta keduanya mulai menunjukkan tanda-tanda keletihan yang mana luar biasa.
Pada ronde ke-14, wajah Frazier telah tak mampu dikenali. Matanya membengkak hingga nyaris tertutup sepenuhnya. Kondisinya yang tersebut semakin buruk menghasilkan pelatihnya, Eddie Futch, mengambil tindakan sulit: menghentikan pertandingan. Frazier bersikeras ingin melanjutkan, tetapi Futch menegaskan, “Tak ada yang mana akan melupakan di malam hari ini. Tapi aku juga tak akan membiarkanmu meninggal di area ring.”
Di sudut lainnya, Ali juga tak berjauhan lebih lanjut baik. Begitu kemenangan diumumkan, ia segera roboh di area lantai ring lantaran kelelahan. Dalam wawancara setelahnya laga, Ali mengakui, “Rasanya seperti mati. Hal ini pengalaman paling dekat dengan kematian yang mana pernah saya rasakan.”
Kemenangan yang tersebut Dibayar Mahal

Ali memang benar mempertahankan gelar kejuaraan juara dunia kelas berat, tetapi nilai yang digunakan harus dibayarnya sangat mahal. Pertarungan ini menjadi titik balik di hidupnya. Setelah bertarung enam tahun lagi hingga 1981, Ali akhirnya pensiun. Namun, dampak dari duel brutal ini tak bisa jadi dihindari—hanya tiga tahun setelahnya gantung sarung tinju, ia didiagnosis menderita Parkinson, penyakit yang tersebut berbagai diyakini dipicu oleh pukulan bertubi-tubi yang mana diterimanya selama bertahun-tahun.