
LIgapedianews.com Ibukota Indonesia – Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai bahwa ASEAN perlu mempercepat upaya transisi energi dalam sedang dinamika urusan politik serta dunia usaha global.
Berbicara pada acara “Talking ASEAN Seminar” di dalam Jakarta, Rabu, Shofwan menuturkan bahwa negara-negara anggota ASEAN masih terus bergantung pada materi bakar fosil yang digunakan rentan terhadap dinamika geopolitik, sehingga ASEAN pun akan mengambil bagian rentan jikalau tidaklah mengempiskan ketergantungan terhadap material bakar fosil.
“Oleh sebab itu, penting bagi ASEAN untuk mempercepat upaya transisi energinya. Hal ini adalah tantangan lalu keterbatasan, sekaligus kesempatan di area ASEAN, yang dimaksud juga dipengaruhi oleh situasi kebijakan pemerintah lalu ekonomi global,” katanya.
Kendati ASEAN sudah mempunyai komitmen yang digunakan kuat terhadap terhadap iklim, termasuk transisi energi, Shofwan menyoroti tiga keterbatasan yang digunakan dihadapi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini untuk mempercepat proses transisi energinya.
Pertama, keterbatasan institusional, yakni hambatan kesinambungan lalu konsistensi sebab beragamnya prioritas negara anggota ASEAN, termasuk adanya keterbatasan kewenangan ASEAN sebagai institusi regional juga fragmentasi pada jadwal energi serta iklim pada ASEAN.
Keterbatasan kedua adalah ketergantungan urusan politik pada pendekatan kegiatan bisnis seperti biasa (business-as-usual), ambisi yang tersebut terbatas, kedalaman kerja sebanding regional yang mana terbatas, juga prioritas yang mana lebih banyak besar terhadap rencana konstruksi perekonomian dibandingkan program lainnya.
“Keterbatasan ketiga adalah infrastruktur keuangan. Meski begitu, kita juga mengamati adanya kesempatan global. Saat ini, pembangunan ekonomi global pada energi terbarukan sudah pernah melampaui pembangunan ekonomi pada unsur bakar fosil, meskipun masih sangat terbatas di area kawasan ini. Namun, kesempatan global terus berkembang,” ucap Shofwan.
Ia menyampaikan pula tentang kondisi lain yang digunakan turut berperan pada menghambat proses transisi energi di dalam ASEAN, yakni rivalitas geopolitik yang dimaksud semakin intens yang digunakan dapat menyebabkan penurunan pembangunan ekonomi energi bersih, adanya gangguan juga fragmentasi rantai pasok, dan juga keterikatan antara kerja mirip sektor ekonomi kemudian penyelarasan politik.
Shofwan pun mengambil contoh pada kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan juga Amerika Serikat, yang salah satunya setuju untuk mengembangkan pemantauan sama-sama dan juga kerja sebanding pada bidang mineral kritis — komponen penting di energi baru terbarukan.
Saat ini, lanjutnya, Amerika Serikat merasa cukup rentan di tempat sektor mineral kritis akibat rantai pasoknya didominasi oleh China. Kondisi ini, tentu akan memengaruhi cara Amerika Serikat lalu negara-negara lainnya menyikapi keinginan akan mineral kritis.
Sementara di dalam sisi lain, Negeri Paman Sam juga kekuatan Barat sedang menggencarkan regulasi kemudian kesepakatan tata kelola melalui sistem seperti Tim Pemasok Nuklir (Nuclear Suppliers Group/NSG), menjadikannya basis untuk mengatur perdagangan mineral kritis.
Oleh sebab itu, Shofwan kembali menekankan pentingnya bagi ASEAN untuk mengembangkan visinya sendiri pada mengatur aspek-aspek transisi energi, termasuk mineral kritis. Namun, juga dengan mempertimbangkan penyelarasan kebijakan pemerintah kemudian kerja identik ekonomi.
“Tanpa visi yang mana jelas, tanpa arah yang tegas, tanpa inisiatif sama-sama dalam tingkat regional, negara-negara ASEAN akan mempunyai daya tawar yang mana lebih lanjut kecil di bernegosiasi dengan kekuatan besar dunia dan juga akan terpaksa memilih berpihak pada salah satu di area antaranya,” kata dia.
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Kecerdasan Buatan di area situs web ini tanpa izin tercatat dari Kantor Berita ANTARA.