K-Pop

Tekan defisit APBN, Ekonom sarankan perluasan pajak sektor digital

Ligapedianews.com Ibukota Indonesia – Ekonom UPN Veteran Ibukota Indonesia Achmad Nur Hidayat menggerakkan pemerintah untuk segera menguatkan penerimaan negara guna mengurangi pelebaran defisit APBN yang digunakan diproyeksikan sebesar 2,78 persen dari Pendapatan Domestik Bruto pada 2025.

Achmad menyarankan beberapa langkah, antara lain, pertama ekstensifikasi serta intensifikasi pajak. eksekutif perlu memperluas basis pajak, khususnya dari sektor digital, jasa profesional, dan juga kelompok warga berpendapatan tinggi.

"Kedua, optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam juga minerba," kata ia untuk ANTARA dikutipkan dalam Jakarta, Kamis.

Kemudian ketiga, evaluasi insentif pajak. Belanja perpajakan atau tax expenditure Indonesia pada waktu ini mencapai Rp372 triliun, namun banyak insentif dinilai tak efektif dan juga kurang tepat sasaran.

Lebih lanjut, anggaran untuk kegiatan prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) juga Koperasi Desa Merah Putih juga perlu diimbangi dengan penerimaan baru.

“Program MBG tahap awal butuh Rp71 triliun kemudian mampu mencapai Rp400 triliun pada waktu skala penuh. Tanpa reformasi pajak kemudian efisiensi belanja, ini hanya saja akan menambah beban utang,” ujarnya.

Achmad juga menegaskan perlunya disiplin fiskal yang mana kuat demi keberlanjutan pembangunan.

Ia menyarankan agar pemerintah menurunkan target defisit menjadi dalam bawah 2 persen pada jangka menengah, juga menata ulang seluruh belanja negara guna menghindari pemborosan.

“Program yang tiada produktif, belanja barang kementerian/lembaga yang digunakan bersifat ceremonial, hingga berbagai proyek mercusuar yang dimaksud tidak ada memberi multiplier effect perekonomian harus dikurangi atau dihapus,” terang Achmad.

Achmad mengungkapkan pelebaran defisit APBN pada 2025 perlu dicegah akibat berpotensi membebani keberlanjutan fiskal Indonesia pada jangka panjang.

“Ketika defisit dibiayai utang, maka negara harus membayar bunga juga pokok utang yang digunakan semakin membesar di tempat tahun-tahun berikutnya. Inilah yang dimaksud disebut sebagai risiko keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability risk),” ujar Achmad.

Pelebaran defisit utamanya disebabkan akibat pendapatan negara yang diprediksi semata-mata mencapai Rp2.865,5 triliun, atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun.

Achmad menjelaskan, dengan total utang negara yang digunakan telah terjadi mencapai Rp10.269 triliun atau 40,19 persen dari Pendapatan Domestik Bruto pada 2024, dan juga tax ratio yang dimaksud stagnan pada kisaran 9-10 persen, Indonesia berada pada tekanan fiskal (fiscal stress).

“Memang masih di area bawah Maastricht Treaty 60 persen, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di tempat bawah 10 persen, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60 persen memiliki tax ratio pada menghadapi 25 persen. Artinya, kemampuan bayar utang kita terpencil lebih besar rendah,” ungkapnya.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk Kecerdasan Buatan pada situs web ini tanpa izin tercatat dari Kantor Berita ANTARA.

Related Articles