
Ligapedia.news Ibukota – Kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi lalu hak asasi manusia yang mana tidak ada dapat dipandang sebelah mata. Pers berperan sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran, penyampai informasi terhadap masyarakat, juga pengontrol kekuasaan agar tetap memperlihatkan berada pada koridor yang digunakan semestinya.
Namun, realitas di dalam lapangan menunjukkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers masih penuh dengan tantangan juga ancaman serius. Para jurnalis kerap menjadi korban penindasan, intimidasi, hingga kekerasan fisik hanya sekali akibat berani menyuarakan fakta yang mana dianggap mengganggu kepentingan kelompok berkuasa.
Pemerintah yang dimaksud otoriter kerap kali membungkam ucapan kritis pers dengan dalih menjaga stabilitas negara. Hal ini mencerminkan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang digunakan menodai nilai-nilai demokrasi.
Namun, di area berbagai belahan dunia, para jurnalis masih menghadapi ancaman serius di menjalankan tugasnya untuk menyampaikan kebenaran terhadap publik. Berikut adalah satu puluh persoalan hukum ancaman terhadap pers di area dunia yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan pers masih panjang.
1. Ahmet Altan (Turki)
Ahmet Altan, pribadi jurnalis senior Turki berusia 70 tahun, telah lama tambahan dari 1.500 hari mendekam di area penjara. Altan, mantan pemimpin redaksi surat kabar Taraf yang tersebut telah ditutup, ditangkap sejak September 2016. Pada tahun 2018, pengadilan menghukumnya penjara seumur hidup yang mana kemudian diubah menjadi 10,5 tahun pada 2019. Ia dituduh “membantu organisasi teroris tanpa menjadi anggota” terkait dengan percobaan kudeta yang gagal pada tahun 2016.
2. Mahmoud Hussein Gomaa (Mesir)
Mahmoud Hussein Gomaa sudah pernah menjalani masa penjara selama sembilan tahun sejak 2016. Gomaa, jurnalis Al-Jazeera, dituduh menyebarkan kekacauan melalui materi dokumenter tentang wajib militer dalam Mesir. Meski dijadwalkan bebas bersyarat pada pertengahan 2019, penahanannya terus diperpanjang dengan tuduhan baru.
3. Mohammad Mosaed (Iran)
Mohammad Mosaed, seseorang jurnalis lepas Iran, dijatuhi hukuman hampir lima tahun penjara dikarenakan kritiknya terhadap pemerintah pada penanganan pandemi Covid-19. Ia dituduh melakukan “kolusi melawan keamanan nasional” dan juga “menyebarkan propaganda melawan sistem.” Selain itu, ia juga dilarang melakukan aktivitas jurnalistik kemudian menggunakan perangkat komunikasi selama dua tahun.
4. Solafa Magdy (Mesir)
Solafa Magdy, orang jurnalis lepas, mengalami pengabaian medis kemudian kondisi penjara yang mana tiada manusiawi selama masa pemidanaan praperadilannya. Ia ditahan sejak November 2019 lantaran meliput isu imigrasi lalu hak asasi manusia dalam Kairo.
5. Zhang Zhan (Tiongkok)
Zhang Zhan, jurnalis independen yang dimaksud melaporkan situasi pandemi Covid-19 di area Wuhan, dipenjara dengan tuduhan “memicu pertengkaran juga memprovokasi masalah.” Zhang akhirnya melakukan mogok makan selama enam bulan sebagai bentuk mengecam terhadap penahanannya.
6. Wan Noor Hayati Wan Alias (Malaysia)
Wan Noor Hayati menghadapi dakwaan hukum akibat tiga unggahan Facebook terkait penyebaran virus Corona yang tersebut dianggap “menyebabkan ketakutan publik.” Ia diancam hukuman dua tahun penjara untuk setiap unggahannya lalu kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis lepas.
7. Hopewell Chin’ono (Zimbabwe)
Hopewell Chin’ono ditangkap dikarenakan melaporkan dugaan korupsi pengadaan pandemi Covid-19 dalam Kementerian Bidang Kesehatan Zimbabwe. Setelah dibebaskan dengan jaminan, ia kembali ditangkap dengan tuduhan “menghalangi keadilan” dikarenakan tweet-nya.
8. Bárbara Barbosa (Brasil)
Barbosa mengalami ancaman pada waktu meliput pelanggaran aturan lockdown di area Florianópolis. Selain itu, ada laporan bahwa kantor wali kota Rio de Janeiro membayar pegawai untuk memantau lalu menghalangi kerja jurnalis.
9. Aleksandr Pichugin (Rusia)
Aleksandr Pichugin didenda $3.920 pasca dianggap menyebarkan informasi palsu terkait penanganan penyebaran virus Corona oleh Gereja Ortodoks Rusia. Ia sempat ditahan selama satu waktu malam dan juga perangkat elektroniknya disita selama sebulan.
10. Gautam Navlakha (India)
Gautam Navlakha, aktivis HAM kemudian kolumnis, dituduh memiliki hubungan dengan militan Maois serta terlibat pada konspirasi pembunuhan Utama Menteri Narendra Modi.
Demi kebebasan juga kebenaran
Kasus-kasus ini menjadi pengingat kuat bahwa kebebasan pers bukanlah sesuatu yang dimaksud bisa jadi diabaikan atau dianggap sepele. Di balik setiap berita yang dimaksud beredar, ada keberanian para jurnalis yang rela mengambil risiko besar untuk menyampaikan fakta terhadap publik.
Di Indonesia sendiri, kebebasan pers sudah pernah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, namun pada kenyataannya tantangan tetap memperlihatkan ada, baik pada bentuk tekanan politik, intimidasi, maupun ancaman fisik.
Semoga negara-negara di area dunia semakin menyadari pentingnya melindungi jurnalis sebagai pilar demokrasi yang digunakan menjaga keseimbangan kekuasaan. Tidak ada lagi ruang bagi pembungkaman pernyataan kritis atau penindasan terhadap merek yang mana berjuang demi kebenaran. Jurnalisme sejatinya adalah simbol kejujuran serta keberanian yang tersebut seharusnya dihormati, tidak diberangus.
Atas nama kebebasan, melawan nama rakyat yang berhak mendapat informasi yang jujur juga akurat, setiap individu miliki tanggung jawab untuk mengupayakan kemudian melindungi kebebasan pers.
Mari berdiri sama-sama para jurnalis yang tersebut berani menyuarakan kebenaran tanpa takut akan ancaman atau represi. Kebebasan pers adalah kebebasan semua publik — untuk mengetahui, memahami, kemudian berpikir dengan bebas.